Dalam suatu akta di bawah tangan, akta tersebut cukup dibuat oleh para pihak itu sendiri dan kemudian ditandatangani oleh para pihak tersebut, misalnya kwitansi, surat perjanjian utang-piutang dll, ketidak ikutsertaan pejabat yang berwenang inilah yang merupakan perbedaan pokok antara akta di bawah tangan dengan akta otentik. Sehingga secara populer dikatakan "siapa yang hendak membuat akta di bawah tangan memerlukan pengakuan sedangkan siapa yang hendak memperoleh akta otentik memgambil notaris".
Akta di bawah tangan ini diatur dalam Pasal 1874 tahun 1984 KUH-perdata. Terhadap akta di bawah tangan apabila ada tanda tangan yang disangkal, maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangan itu harus membuktikan kebenaran tanda tangan itu melalui alat bukti lain. Dengan demikian selama tanda tangan tidak diakui maka akta di bawah tangan tersebut tidak banyak membawa manfaat bagi pihak yang mengajukannya di muka pengadilan. Namun apabila tanda tangan tersebut sudah diakui maka akta di bawah tangan itu bagi yang menandatangani, ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari mereka, merupakan bukti yang sempurna sebagai kekuatan formil dan kekuatan formil dari suatu Akta Otentik (Pasal 1875 KUH-perdata).
Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dalam perkara perdata, sepanjang akta di bawah tangan tidak disangkal atau dipungkiri oleh para pihak maka akta di bawah tangan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan akta otentik, sedangkan apabila kebenaran tanda tangan dalam akta di bawah tangan di sangkal akan kebenarannya maka akta tersebut harus dibuktikan kebenarannya dengan menggunakan alat bukti yang lain seperti saksi, persangkaan dan pengakuan. Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat tanpa bantuan pejabat umum, melainkan dibuat dan ditandatangani oleh para pihak saja.